Minggu, 24 November 2013

Peserta Pelatihan Blog Tampak Antusian Mengikuti Pelatihan
Kedungwuni - Pelatihan Pembuatan Website dan Blog saat ini (24/11) sedang berlangsung, di Gedung NU Kabupaten Pekalongan. Sebanyak 45 peserta tampak asyik mengikuti kegiatan tersebut.

Ketua panitia, Agung Bisyara menyampaiakan materi yang akan diterima peserta diantaranya: satu, pemanfaatan Internet sebagai media syiar dan dakwah, dua, Teknik pembuatan blog dan posting blog serta menghias blog, tiga, praktik pembuatan blog.

"Pematerinya kami ambilkan dari Dosen STIMIK Widya Pratama Pekalongan dan Pelaku Web dari WENET selaku sponsor kegiatan", lanjut Agung.

Peserta tampak antusias mengikuti kegiatan tersebut dan semangat untuk bisa membuat blog. Salah satu pemateri, M. Rifki Maulana dari STIMIK WP Pekalongan menyampaikan, membuat blog dan Web bisa bermanfaat untuk umat. "Sampaikanlah padaku walau satu ayat", terang Rifki sesuai hadits Nabi SAW.

"Jadi membuat blog dan web itu mudah. Manfaatkan untuk syiar dan dakwah", Lanjut Rifki.


Sabtu, 23 November 2013

Abdurrahman Wahid lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dhakhil, dari  maknanya, “ad-Dhakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil K.H. A. Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah membawa kejayaan Islam di Spanyol selama berabad-abad. Pada proses perjalanan waktu,  kata “ad-Dhakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan untuk seorang anak kiai. “Gus” sebenarnya kependekan dari ucapan “bagus”, sebuah harapan seorang ayah kepada anaknya agar menjadi bagus.Selain itu “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur (panggilan akrab dari K.H. Abdurrahman Wahid) lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara (lima saudara Gus Dur secara berurutan adalah `Aisyah “Ny. Hj. `Aisyah Hamid Baidlawi”, Sholahuddin “Ir. H. Sholahuddin Wahid”, Umar “dr. H. Umar Wahid”, Khodijah dan Hasyim “H.M. Hasyim Wahid”). Ayahnya , K.H. Abdul Wahid Hasyim, adalah putra dari K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng dan pendiri Jam`iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia, bahkan barangkali di Dunia. Ibunya, Ny Hj Sholehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois `Aam syuriah PBNU.Dengan demikian secara genetik, Gus Dur memang keturunan darah biru dan menurut istilah Clifford Geertz, ia tergolong santri dan priyayi sekaligus.
Gus Dur, baik dari trah ayah maupun ibu adalah sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia, ia adalah cucu dari dua Ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia. Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur, yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir.
Meskipun demikian, perjalanan kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan seorang Ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.
Gus Dur pada masa kecil belajar di pondok pesantren Tebuireng Jombang, dalam usia lima tahun, ia sudah lancar membaca al-Qur`an. Gurunya waktu itu adalah kakeknya sendiri, K.H. Hasyim Asy`ari. Gus Dur kecil tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, ia tidak tinggal bersama ayahnya, akan tetapi ikut bersama kakeknya. Semasa di rumah kakeknya itulah Gus Dur kecil mulai mengenal dunia politik, dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Pada akhirnya, Gus Dur harus pindah ke Jakarta, ketika ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, yakni pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia Merdeka.Gus Dur pun menyelesaikan sekolah dasarnya di Jakarta.
Untuk menambah pengetahuannya Gus Dur pun dikirim untuk mengikuti kursus-kursus pilihan yang ditentukan oleh orang tuanya, seperti les privat bahasa Belanda dan oleh Willem Buhl gurunya disuguhi selingan musik-musik klasik barat.Buku, bola, catur, musik dan film adalah lima hal yang tak pernah lepas dari sosok Gus Dur ketika masih kecil.
Pada saat kecil Gus Dur pernah bercita-cita menjadi tentara, masuk AKABRI. Namun, cita-cita itu kandas, sebab pada usia 14 tahun, ia harus memakai kaca mata minus. Selang kandasnya cita-citanya, membuat Gus Dur semakin semangat “gila” dalam bergelut dengan Buku, bola, catur, musik dan film. Pada akhirnya Gus Dur yang ketika itu masih kecil merumuskan kembali cita-citanya yang sangat sederhana, menjadi Guru ! “ saya hanya ingin menjadi guru bangsa, seperti Ki Hajar, Ki Mangunsarkoro, Kakek saya Kiai Hasyim, dan sebagainya,” ucapnya suatu ketika.
Setelah menamatkan dari sekolah dasar di Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke SMEP di Tanah Abang Jakarta, akan tetapi setelah setahun, dia dipindahkan ke SMEP Gowongan Yogyakarta. Ibunya berharap, kepindahannya ke Yogya selain agar ia bisa melepaskan diri dari lingkungan lama di Jakarta, juga kembali pada latar belakangnya sebagai anak kiai: mendekati pondok pesantren.
Memang sebenarnya Gus Dur sudah mengalami pendidikan santri atau pesantren dan religiusitas dari kedua orang tuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur`an dengan suara keras. Setelah beranjak remaja pun ia belajar bahasa Arab secara sistematik.
Ketika Gus Dur sekolah di SMEP Yogya, diusahakan pula dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali. Di sini ia belajar bahasa Arab dengan K.H. Ali Ma`sum.
Di kota Jogjalah minat baca dan kehausan Gus Dur akan ilmu pengetahuan muncul dan semakin melesat jauh. Kota Jogja merupakan kota pelajar, dengan kehadiran universitas dan banyak toko buku, atau buku-buku yang dimiliki kenalan gurunya atau gurunya sendiri, ataupun milik sang bapak kos. Dari sinilah Gus Dur mengalami masa mencintai buku dan sering mengunjungi took buku secara rutin. Di kota ini pula Gus dur menyukai pertunjukan wayang kulit. Selain itu kebiasaan lamanya yang suka sekali menonton film menjadi rutinitas yang tak pernah ditinggalkannya.
Setelah menamatkan sekolah di SMEP Yogya pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang di Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan kiai karismatik, kiai Khudori, dari sinilah Gus Dur mempelajari secara penuh dunia pesantren berserta keilmuannya.
Pada saat yang sama, selama dua tahun Gus Dur juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri.setelah itu Gus Dur melanjutkan ke pondok Pesantren Tambak Beras, di bawah asuhan Kiai Wahab Hasbullah, dari pesantren ini hubungan Gus Dur dan Kiai Wahab Hasbullah sangat kental, sehingga Ia mendapat dorongan untuk berproses dalam tahap belajar mengajar, bahkan Gus Dur pernah menjadi kepala madrasah Modern. Dari pesantren inilah minat Gus Dur mulai bertambah, tidak hanya pada studi ke-Islaman, tetapi tertarik pada studi tradisi sufistik dan mistik dari kebudayaan dan tradisi Islam. Inilah awal dari kebiasaan Gus Dur yang sering berkunjung ke makam-makam para wali, kiai, dan ulama pada tengah malam.
Pada akhirnya Gus Dur menyelesaikan studinya yang ia geluti di Indonesia dan selanjutnya melanjutkan proses belajarnya ke luar negeri. Sebagaimana dari keturunannya, Gus Dur memang dari keluarga yang haus akan ilmu pengetahuan, jadi wajar bila Gus Dur harus melanjutkan studinya sampai ke luar negeri.
Awal belajar di luar negeri, pada tahun 1964-1969. Gus Dur masuk di Departement of Higher Islamic and Arabic Studies, Al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir.
Perjalanan proses belajar Gus Dur di Mesir tidak semulus dan semudah dijalankan, karena memang harus terganjal dengan pengurusan terhadap pengakuan ijazahnya dan mata kuliah yang sudah dipelajarinya di Indonesia.
Gus Dur merasa banyak hal dalam pelajaran yang diulang ketika belajar di Mesir, sehingga ia begitu enggan melakukan studi formalnya dan sering tidak masuk kuliah. Di sinilah ia sering menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola, membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Perancis, dan ikut serta dalam diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik.Dengan kondisi yang sedemikian, rupanya membuat Gus Dur agak kecewa dan bosan, sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Al-Azhar dan pindah ke Baghdad.
Kemudian pada tahun 1970-1972 Gus Dur pindah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Baghdad Irak.Di sinilah Gus Dur mempunyai jadwal yang cukup ketat, mulai dari memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia dan ia pun diberikan akses yang mudah untuk pelaksanan tahapan risetnya. Ia juga mempelajari bahasa Perancis di kota ini, yang tidak dilupakannya adalah sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam wali kelas dunia dan mempertajam ilmu tasawufnya. Gus Dur tetaplah Gus Dur, meskipun tidak lagi melakukan diskusi-diskusi di kedai kopi, karena ketatnya jadwalnya akan tetapi ia menyempatkan menonton film di bioskop.
Setelah menamatkan masa studinya di Timur Tengah, Gus Dur kemudian pindah ke Eropa untuk melanjutkan studi pascasarjananya. Pada mulanya Gus Dur tinggal di Belanda dan berkeinginan masuk di Universitas Leiden, akan tetapi yang terjadi pada beberapa universitas Eropa termasuk Leiden tidak dapat menerima lulusan dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun kecewa dengan hal ini, untuk mengurangi beban kekecewaannya ia pun berkelana selama setahun di Eropa dan pada pertengahan tahun 1971 Gus Dur balik ke Indonesia.
Sekembalinya dari Eropa ke Indonesia, Gus Dur pun masih saja tidak putus asa untuk melanjukan studinya ke negeri Eropa, akhirnya Ia mendapatkan informasi adanya beasiswa ke McGill, namun begitu niat sudah tertancap tapi urung terjadi, dikarenakan harus melangsungkan resepsi pernikahannya. Kemudian setelah itu Gus Dur tinggal di Jombang dan memulai langkah-langkah untuk mencari format perubahan yang harus dilakukannya dengan cara berkeliling “silaturahim” Jawa, yang nantinya membuat Gus Dur benar-benar mengurungkan niatnya untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.
Gus Dur menjadi pelajar keliling di Eropa, belajar dari satu universitas ke universitas yang lain, pada akhirnya juga sempat menetap di Belanda dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa.
Pada masa kuliahnya di luar negeri Gus Dur juga memiliki masa-masa dalam bekerja, ketika di Mesir ia pernah mendapat pekerjaan di kedutaan Indonesia untuk Mesir, kemudian ketika di Baghdad ia bekerja di Ar-Ramadhani, perusahaan ini mengkhususnya impor tekstil dari Eropa dan Amerika, ketika di Eropa Ia juga bekerja di binatu milik orang Cina.ketika menetap di Belanda Gus Dur dua kali sebulan pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Beragam ilmu pengetahuan dan segala prosesnya dalam kemandirian, seorang Gus Dur mampu menembus batas-batas sisi kemanusiaan yang wajar, bahkan upaya untuk dapat mandiri dalam hidupnya pun ia mampu.
Begitulah Gus Dur dalam kisahnya mencari ilmu, selain diajar oleh guru informal yang kuat, bisa jadi Gus Dur juga diberi karunia oleh Allah sehingga dapat cepat memahami sebuah bacaan dan memiliki ingatan yang luar biasa akan bacaan tersebut. Mungkin inilah yang menjadi dasar bagi seorang calon pemimpin di masa mendatang.
Dalam berproses membangun dan membina rumah tangga Gus Dur, boleh dibilang cukup unik, perkenalannya di Jombang sebagai guru dan murid kemudian melewati jarak yang cukup jauh, Gus Dur di Kairo dan Nuriyah di Jombang. awalnya selama beberapa tahun di kairo, Gus Dur terus menghubungi Nuriayah lewat surat menyurat yang sangat teratur pada akhirnya Nuriyah pun menerima Gus Dur sebagai teman hidupnya hingga melangsungkan pertunangan selama kurun waktu dua tahun, setelah itu Gus Dur pun menikahi Nuriyah.
Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan, mereka yaitu, Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dalam mendidik anaknya Gus Dur juga selalu menerapkan praktik demokrasi, tidak otoriter terhadap persoalan yang dihadapi anak-anaknya, Gus Dur hanya mengarahkan dan memberikan saran-saran dengan segala konsekwensi terhadap beragam pilihannya.
Masa perjuangan seorang Gus Dur memang sangat panjang, berawal tapi bukan awal yang diinginkannya, proses itu mengalir mulai dari sejak berada di Indonesia sampai di luar negeri pun dilakukannya, mulai dari mengajar, menjadi kepala madrasah, membidangi banyak aktifitas di luar negeri, menjadi komentator sosial dengan menulis di berbagai media cetak, bergerak dalam lingkup LSM LP3ES, ketua PBNU, hingga menjadi Presiden RI ke-4. kesadaran Gus Dur akan pergerakan untuk menemukan perubahan yang ideal cukup kuat, ia sangat anti kekerasan, teguh, tangguh dan konsisten.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sebelum menjabat sebagai Presiden sampai setelahnya, penyakit yang ia alami seperti stroke, diabetes dan lainnya. Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 wib, dikarenakan oleh penyakit yang dideritanya sejak lama.
Gus Dur wafat bertepatan dengan ulang tahun ke-27 putri bungsunya, Inayah Wulandari, yang lahir pada 31 desember 1982, selama Gus Dur dirawat di Rumah sakit RSCM, Inayah Termasuk salah satu putri Gus Dur yang paling rajin menjaga Gus Dur.
Menurut cerita, K.H. Salahudin Wahid, yang akrab dipanggil Gus Sholah ia bertemu kakaknya, Gus Dur terakhir kali di Jombang, sepekan sebelum wafatnya, yaitu Gus Dur ketika sedang berziarah ke makam keluarga, saat itu Gus Sholah sudah memiliki firasat tidak enak. Gus Sholah merasa kaget dan heran ketika Gus Dur bilang ”Dik, mengko tanggal 31 jemputen aku nang kene ! (dik, nanti tanggal 31 jemput saya disini)dan begitu juga banyak cerita mengenangi sebelum wafatnya Gus Dur dan setelah Gus Dur wafat banyak yang sadar bahwa Gus Dur sudah mengetahui waktu wafatnya. Semoga amal ibadah Beliau diterima oleh Allah Swt.
Itulah yang terjadi pada sosok Gus Dur, kesaktiannya hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya bahkan beliau sanggup menyembunyikannya dengan baik, tanpa perlu harus diketahui banyak orang. Sekarang bila kita mengamati, banyak orang yang melayat ke kuburannya seperti layaknya makam-makam para Wali Allah “Wali Songo”, banyak orang merasa kehilangan, menangisi kepergiannya. Beliau memang guru spiritual baru beberapa kalangan muslim, begitu juga kalangan beda agama di Indonesia maupun di Dunia.
KARYA-KARYANYA
Karya-karya intelektual Gus Dur sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an, karya intelektual itu tersebar dalam berbagai bentuk tulisan dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut, dalam bentuk buku sebanyak 12, 1 buku terjemahan, 20 kata pengantar buku, 1 epilog buku, 41 antologi buku, 105 tulisan dalam bentuk kolom, 50 makalah, 263 artikel yang tersebar dalam berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa.
Tim peneliti dari INCReS (Institut of Culture and Religion Studies) secara simpel memberikan gambaran dari karya-karya besar yang dihasilkan dari pemikiran seorang Gus Dur, karya tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh tema pokok, ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini. Tujuh hal itu adalah pandangan dunia pesantren, pribumisasi Islam, keharusan demokrasi, finalitas negara-bangsa Pancasila, pluralisme agama, humanitarinisme universal dan antropologi kiai.
Berikut daftar karya dalam perjalanan karir dan perjuangan Gus Dur:
  1. Guru Madrasah Mu`allimat, Jombang (1959-1953)
  2. Dosen Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
  3. Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
  4. Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974-1979)
  5. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta (1976-2009)
  6. Pendiri dan anggota Fordem (forum Demokrasi), 1990.
  7. NU (Nahdlatul Ulama), katib Awwal PBNU 1980-1984, Ketua dewan Tanfidz PBNU, 1994-2000.
  8. Pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
  9. P3M (Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat)
  10. Pendiri The Wahid Institut.
  11. Gerakan Moral rekonsiliasi Nasional, 2003, sebagai penasihat.
  12. Solidaritas korban pelanggaran ham, 2002, sebagai penasihat.
  13. Festifal Film Indonesia, 1986-1987, sebagai juri.
  14. Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
  15. Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Cairo Mesir, 1965, sebagai wakil ketua.
  16. Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden, 2003-sampai beliau meninggal.
  17. International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel.
  18. Anggota dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, ehud barak dan carl bild, 2003-sampai beliau meninggal.
  19. International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstrukction (IICORR), London, Inggris. Sebagai presiden kehormatan, 2003-sampai beliau meninggal.
  20. International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP). New York, Amerika Serikat. Anggota dewan penasihat Internasional. 2002-sampai beliau meninggal.
  21. Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat, Presiden, 2002.
  22. Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel. Pendiri dan anggota. 1994-sampai beliau meninggal.
  23. World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat, Presiden, 1994-1998.
  24. International dialogue project for area study and law, den hag, belanda, sebagai penasihat, 1994.
  25. The Aga khan Award for Islamic Architecture, anggota dewan juri, 1980-1983.
Dengan kegigihannya dalam perjuangan dan pemikirannya atas kemanusiaan baik di Indonesia maupun di dunia Gus Dur banyak sekali mendapatkan gelar kehormatan dari berbagai lembaga dan mendapat berbagai penghargaan dari berbagai lembaga lokal, nasional maupun internasional.
Kemudian Gus Dur juga diakui kapasitasnya di kalangan akademik sehingga beberapa kali mendapat gelar dari berbagai universitas.
PEMIKIRANNYA
Gus Dur memang memiliki pemikiran yang cukup unik dan jernih. Boleh dibilang pemikirannya mampu melewati zamannya, karena banyak orang harus memikirkan dengan keras apa yang menjadi pemikirannya. Ia juga dikenal sangat kontroversial.
Gus Mus menyebut pemikiran Gus Dur sebagai pelajaran Tuhan, sampai saat ini, pastilah belum−atau tak pernah−ada orang yang bisa menandingi Gus Dur dalam banyaknya mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam pengumpulan julukan itu. Mereka yang melihat betapa Gus Dur begitu `fanatik` dan gigihnya menyesuaikan sikapnya dengan firman Allah “Walaqod karramna banii Adama…”(Q. 17:70), mungkin akan menjulukinya humanis. Mereka yang melihatnya begitu `taat` dan gigih mengikuti jejak orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, mungkin akan menjulukinya nasionalis, mereka yang melihatnya sebagai orang yang memiliki tingkat kualitas spiritual, mungkin akan menjulukinya seorang wali. Demikian seterusnya.
Perjuangan pemikiran Gus Dur mampu melewati semua jenis disiplin ilmu, mulai dari agama, filsafat, tasawuf, tata bahasa, kebudayaan dan kesenian, humor, demokrasi, pluralisme, humanisme, nasionalisme. Dengan ide-idenya yang cemerlang, pemikiran Gus Dur mampu menjadi komentator sosial yang mampu membuat gelisah dan menyadarkan banyak kalangan terutama pemerintahan saat itu.
Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk mengembangkan ide-idenya. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perjalanan, membaca, dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Mungkin ia mengerjakan hal ini lebih lengkap daripada mayoritas intelektual di Indonesia, yang kemudian membuat Gus Dur menjadi bagian dari gerakan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Penekanan pemikiran Gus Dur lebih mengisyaratkan pada hal-hal yang lebih substansial, mengajarkan kepada kita untuk selalu toleran, terbuka, dan inklusif.
Menurut Greg Barton, pemikiran Gus Dur, ia kategorikan dalam salah satu cendekiawan Neo-Modernis. Di antara karakter intelektual yang digolongkannya dalam kelompok Neo-modernis bahwa dalam memahami ajaran Islam banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme berijtihad secara konstekstual. Berusaha memuat sintesis antara khazanah klasik dengan keharusan berijtihad, serta apresiatif dengan gagasan barat terutama dalam ilmu-ilmu social dan humaniora. Neo-Modernis sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif terutama dalam menerima realitas faktual pluralisme masyarakat yang ada, condong untuk menekankan sikap toleran dan harmoni dalam hubungan antar komunitas.
Keluwesan Gus Dur dalam mengkonstruksikan pemikirannya tidak dapat dipungkiri. Seperti halnya perihal negara “Indonesia” yang harus diIslamkan, Gus Dur jelas-jelas mempertanyakan konsep ini, baginya negara yang dikonsepkan menurut Islam tidak memiliki kejelasan formatnya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Tentang negara Islam yang dipikirkan sebagian orang itu hanya memandang Islam dari sudut institusionalnya saja. Selama tidak ada kejelasan tentang hal di atas, sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan.
Kemudian Gus Dur berhasil menyelesaikan pertentangan antara negara dan masyarakat, dimana pada masa orde baru Negara terlalu kuat atau otoritarian, sementara masyarakat terlalu lemah. Ia dengan pemikiran dan pengembangan gerakan kemasyarakatan berhasil mengurangi sifat otoritarianisme negara dan pada saat yang sama sukses memberdayakan masyarakat dengan munculnya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Perjuangan Gus Dur terhadap demokrasi untuk negara, sudah bukan menjadi rahasia lagi, banyak orang yang mengetahui dan mengenal. Pemikiran Gus Dur tentang Indonesia yang dicita-citakan adalah menjadi negara yang demokrasi yang memiliki pengaruh kecil terhadap militer dan tidak ada fundamentalisme dalam agama. Baginya di kehidupan yang modern ini demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik karena ternyata dalam berkehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis meskipun demokrasi untuk saat ini di Indonesia masih menjadi proses diskusi, tapi suatu saat akan tercapai demokrasi yang sebenarnya.
Gus Dur sebagai satu-satu nya orang yang pertama kali mensuarakan kembali terhadap gagasan pribumisasi Islam. Dengan artian yang dipribumikan itu manifestasi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Ini yang telah dilakukan para pelopor dakwah “wali songo” dalam proses Islamisasi di Indonesia. Bisa dilihat bahwa pemikiran dan gerakan Gus Dur tidak jauh berbeda dengan para wali bisa disebut juga sufi.
Gus Dur menyatukan kebudayaan dan keberagamaan, menurutnya, agama “Islam” dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Manusia tidak dapat beragama tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kreativitas manusia yang dapat menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa agama adalah kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki perbedaan. Agama bersumber pada wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Perspektif demikian menempatkan agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa dan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupaan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.
Gus Dur dikenal juga sebagai sosok yang humoris. Pemikiran dan sikap kritisnya terhadap realitas kehidupan sering disampaikan melalui humor, sehingga yang setuju maupun tidak sama-sama tertawa. Bahkan ia disejajarkan dengan filsuf Yunani, Socrates, yang gemar melontarkan komentar-komentar humoristis. Perlawanan yang Gus Dur lakukan mungkin banyak tidak diketahui orang, bahwa sebenarnya ia sedang mengadakan perubahan dan kritik besar besaran yang disampaikannya lewat lelucon.
Di dunia internasional pun pemikiran Gus Dur diterima banyak kalangan intelektual dunia. Bahkan banyak yang melakukan penelitian secara khusus terhadap pola dan gaya pikirannya. Tidak aneh pula bila beragam penghargaan didapatkan Gus Dur dari dunia internasional.
Gus Dur adalah representasi paling genuin dari dua kultur yang terus menerus bertahan dan berkembang di lingkungan NU. Yang pertama adalah kultur kiai dengan pesantrennya yang menjadi jagad kecilnya NU. Yang kedua adalah kultur kaum muda NU yang menandai konvergensi NU dengan dunia modern. Ia juga membangun pemikirannya sebagai gerakan sosial yang secara cerdas bisa menempatkan NU dalam posisi yang strategis. Lewat NU juga Gus Dur melakukan perubahan besar-besaran dan mendasar terhadap NU sendiri maupun bangsa dan negara.
Pemikiran Gus Dur memiliki kekuatan aroma sufistik. Seperti gagasannya tentang Tuhan tidak perlu dibela, ia menuturkan bahwasannya, Al-Hujwiri mengatakan, bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “Ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya, Yang di takuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya. Gus Dur menghiasi serta menjalankan jalan pikirannya sama halnya dengan guru tarekat itu.
Dalam pemikiran spiritual Gus Dur bisa disebut sebagai sufi sejati. Ia pemaaf, meski kepada musuh yang jahat sekalipun. Meski dicaci karena membela non-muslim ia sabar dan tenang, tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun, tidak pernah takut menghadapi apapun, ikhlas, tampa pamrih, dan sebagainya yang mencorakkan Gus Dur pada sisi sufistik. Seorang sufi selalu menggabungkan kerja keras dan kepasrahan kepada Tuhan secara total. Gus Dur dianggap wali “sufi” di mata pengikutnya dan orang-orang teraniaya. Pemikiran, pembelaan dan perjuangan Gus Dur sepanjang hidupnya, menunjukkan bahwa ia memiliki sifat-sifat seorang wali, tanpa harus dipaksakan atau diperdebatkan untuk disebut sebagai wali.
Gus Dur memang sudah menjadi fenomena yang menarik sekaligus unik, terutama dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia bahkan diperhitungkan dalam wacana politik. sementara itu, ia mampu mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan Nahdliyyin. Menjadikan dirinya sebagai sebuah tumpuan tempat berkonsultasi, menyampaikan keluhan, dan mencari informasi, kadang-kadang juga dimintai restu dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Gus Dur tampaknya bukan lagi seorang figur, ia sudah menjadi simbol atau bahkan sebuah mitos. Bagi Gus Dur seorang tokoh akan diketahui tingkat keberhasilannya dengan jelas dalam memajukan umat, jika produk-produk ijtihad-nya dapat dirasakan implikasinya bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
 
Sumber : Kompasiana.com
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.
NASAB BELIAU :
Al Habib Muhammad Luthfi bin Sayid Ali al Ghalib bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar Bin Sayid Thaha sahibur ratib (yang menyusun ratib Kubro) bin Sayid Muhammad bin Sayid Thaha bin Sayid Hasan bin Sayid Syekh bin Sayid Ahmad bin Sayid Yahya bin Sayid Hasan bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Faqih Muqadam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Sahib Marbath bin Sayid Khala ‘Ali Qasam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid Muhammad bin Sayid Muhammad an Naqib bin Sayid ‘Isa an Naqib bin Sayid Ahmad al Muhajir bin Sayid Abdullah bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali al ‘Uraidhi bin Sayid Ja’far Shadiq bin Sayid Muhammad al Baqir bin Sayid ‘Ali Zainal Abidin bin Sayid Imam Husain as Sibthi bin Sayidatina Fathimah az Zahra binti Sayidina Muhammad Saw.
Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
• Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
• Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
• Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
• Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu melanjutkan ke Mekah, Madinah dan dinegara lainnya. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.
Silsilah Thariqah dan Baiat:
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
• Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
• Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.
Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
• Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
• Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
• Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.
Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
• Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.
Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.
Thariqah Tijaniah:
• Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.
Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
• Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami’ul Usul thariq al Aulia).
• Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
• Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
• Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
• Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
• Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
• Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
• Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
• Ketua Umum MUI Jawa Tengah.
• Anggota Syuriyah PBNU.dll.
Kedungwuni - Pimpinan Cabang IPNU Kabupaten Pekalongan akan menggelar Pelatihan Blog dan web, Minggu (24/11) di gedung NU Kabupaten Pekalongan. Kegiatan tersebut akan diikuti peserta perwakilan dari Pimpinan Anak Cabang IPNU IPPNU se Kabupaten Pekalongan.

Ketua PC IPNU Kab. Pekalongan, Ahmad Masroni menyatakan Pelatihan blog dan web merupakan salah satu program kerja yang diamanatkan dalam hasil raker 2 Januari lalu. "Selain memberikan pelatihan kami juga akan mengadakan launching blog serentak bagi pac se Kabupaten Pekalongan", terang Ahmad Masroni.

Ketua panitia kegiatan, Agung Bisyara menyatakan kegiatan tersebut akan diisi oleh tutor-tutor profesional. "Kami akan mendatangkan dosen dari STIMIK Pekalongan dan pelaku web profesional", tutur Agung.

Ditambahkan, pelatihan ini akan langsung praktek ditempat pelatihan, tiap peserta di haruskan membawa laptop sendiri. "Kami akan menyediakan layanan internet bekerjasama dengan Winnet, selaku sponsor kegiatan pada kali ini," terang Agung.

Kegiatan yang direncanakan digelar dari pukul 8 pagi hingga 5 sore tersebut mengambil tema "Optimalisasi web dan blog sebagai sarana pengembangan organisasi dan media syiar".

"Mudah-mudahan acara berjalan lancar", tambah Agung. (roni)

Keluar-masuk pakai aturan. Di sinilah pentingnya aturan. Tanpa kepatuhan terhadap aturan, seseorang dapat menggetok jidatnya sendiri. Kalau sudah begini, ia tidak bisa menunjuk sumber kesalahan kepada siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Akan halnya dengan harta. Orang wajib menggunakan hartanya untuk kepentingan yang baik. Yang tentunya memberikan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi dirinya. Harta harus digunakan untuk menafkahi orang yang menjadi tanggungannya, kepentingan sosial, atau ibadah haji.

Singkatnya, harta mesti dipakai untuk kepentingan yang baik. Untuk dinilai sebagai ibadah, tentu saja seseorang harus menyertakan kegiatan pengeluaran harta itu dengan niat tulus. Begitulah aturannya. Artinya ia sudah berada di jalan Allah.

Keluarnya harta di jalan Allah ini belum cukup. Seseorang juga harus mempertimbangkan jalan masuknya harta ke dalam kantongnya. Jalan masuk ini sama penting seperti jalan keluar. Ia harus memastikan kebersihan sumber perolehan hartanya. Karena, Syekh Ahmad bin Ruslan dalam kitab Zubad-nya yang terkenal berkata,

وطاعة ممن حراما يأكل * مثل البناء فوق موج يجعل

“Ibadah dari orang yang memakan harta haram, seperti mereka yang membuat bangunan di atas ombak.”

Menerangkan syair di atas, Syekh Muhammad bin Ahmad Romli dalam kitab Ghayatul Bayan fi Syarhi Zubad Ibni Ruslan mengatakan,

إن فعل الطاعة من صلاة وصوم وحج وغير ذلك ممن يأكل أو يشرب أو يلبس حراما عالما به مثل واضع بناء فوق موج بحر عجاج بأن يجعله أساسا له ومعلوم أنه لايثبت عليه فقد روى من حديث ابن عمر رضى الله عنهما من لم يبال من أين اكتسب المال لم يبال الله من أين أدخله النار

“Perbuatan ibadah seperti sembahyang, puasa, haji, dan ibadah lainnya dari orang yang memakan, minum, dan mengenakan pakaian haram–padahal ia mengerti keharaman sumbernya–seperti peletak bangunan di atas ombak ganas. Artinya ia meletakkan fondasinya. Terang saja, bangunan itu takkan tetap di atasnya. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar Ra, Rasulullah bersabda, ‘Siapa yang tidak peduli kehalalan sumber perolehan hartanya, maka Allah juga tidak peduli dari pintu mana saja Ia akan menjebloskan orang itu ke neraka.’”

Karena itu, sesorang perlu memerhatikan pintu masuk hartanya seperti pintu keluar. Seseorang tidak bisa cuci tangan. Karena, pintu keluar yang benar tidak bisa menghapus kesalahan pintu masuk. Wallahu A’lam.


Sumber : www.nu.or.id
Tiga puluh tahun yang lalu yakni tahun 1984 tepatnya di Situbondo, NU mencanangkan gerakan "Kembali ke Khittah 1926". Langkah strategis itu telah membawa kemajuan yang sangat berarti bagi NU, sehingga menjadi organisasi yang besar, kuat dan disegani. Pada hakekatnya kembali ke Khittah adalah kembali pada spirit, pola pikir serta nilai luhur pesantren.
Karena itulah pada periode ini NU mencanangkan gagasan besar Kembali Ke Pesantren, sebagai realisasi mengembalikan Khittah serta jati diri NU yang lahir dan besar di Pesantren. Maka sudah selayaknya dalam usianya yang ke-90 tahun ini NU menegaskan kembali gagasan mulia tersebut.

Pesantren merupakan khazanah peradaban Nusantara yang telah ada sejak zaman Kapitayan, sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam. Pertemuan dengan agama besar tersebut pesantren mengalamai perubahan bentuk dan isi sesuai dengan karakter masing-masing agama, tetapi misi dan risalahnya tidak pernah berubah, yaitu memberikan muatan nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku masyarakat sehari-hari, baik dalam kegiatan sosial, ekonomi maupun kenegaraan.

Sejak awal pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat mulai dari bidang agama, kanuragan (bela diri), kesenian, pereonomian dan ketatanegaraan. Karena itulah para calon pimpinan agama, para pujangga bahkan para pangeran calon raja dan sultan semuanya didik dalam dunia pesantren atau padepokan. Para pandita, panembahan atau Kiai yang mengasuh para murid, cantrika atau santri dlam belajar sehari hari.

Zaman Islam terutama pada masa Walisongo, pesantren yang semula bernuansa Hindu-Budha mulai mendapatkan nuansa Islam, sejalan dengan tersebarnya agama baru ini. Dari pesantren itulah agama diajarkan secara luas di tengah masyarakat. Dan diajarkan secara mendalam, dengan mempelajari berbagai kitab babon, sehingga melahirkan ulama atau kiai besar yang menjadi penerus perjuangan para wali. Berbagai kitab yang diajarkan di pesantren saat ini, baik kurikulum, kitab dan metodenya semuanya berasal dari generasi para wali dan kiai sesudahnya. Metode itulah yang terbukti berhasil melahirkan berbagai ulama dan pujangga serta sultan yang berpengaruh dalam sejaha Islam Nusantara. Paku Buwono VI dan Panageran Sambernyowo (Mangkunegoro I) juga Pangeran Diponegoro tokoh besar yang piawai dalam politik dan lihai dalam perang, tak pernah terkalahkan dalam perang, semuanya murni hasil pendidikan politik pesantren.

Baru ketika kolonial datang dengan kebijakan Politik Etisnya tahun 1900, memperkenalkan  pendidikan sekolah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keduniaan dengan dasar rasional semata, mulailah terjadi dualisme pendidikan Nusantara. Pendidikan yang semua terpadu mulai dipisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena pendidikan Barat tidak mengenal ilmu agama, hanya mengenal ilmu umum sementara pendidikan pesantren saat itu mengintegrasikan keduanya.

Hadirnya pendidikan kolonial yang diperkenalkan secara persuasip maupun represi itu, menjadikan sekolah menjadi pendidikan tunggal yang menggeser posisi pesantren. Ketika politik diarahkan pada paradigma Barat, sehingga belajar hukum dan politik harus ke Sekolah Barat bukan lagi ke pesantren seperti para sultan sebelumnya. Sementara pesantren yang menjalankan politik anti tasyabuh atau non kooperasi total, menolak segala bentuk budaya Belanda. Pesantren terus berjalan dengan paradigmanya sendiri, namun demikian tetap melahirkan tokoh besar yang tak terkalahkan. Hampir seluruh perlawanan terhadap penjah dilakukan oleh pimpinan pesantren. Kalaupun dilakukan oleh Kraton, tentu melibatkan para kiai dan santri dari pesantren.

Para tokoh besar Islam seperti KH Ahmad Rifai, KH Hasyim Asy’ari, adalah tokoh pergerakan nasional yang mampu menggoncangkan kekuasaan Belanda, walau tak sekejappun merasakan pendidikan sekolah Belanda. Demikian juga KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, yang piawai dalam politik, sehingga sejak tahun 1943-an telah menjadi Pimpinan Shumubu (Menteri Agama) dan ketua Masyumi, mewakili KH Hasyim Asy’ari. Dan pada Sidang BPUPKI Menjadi anggota perumus Pancasila dasar negara dan perumus Mukadimah UUD 1945, sehingga konsep filosofis itu menjadi sangat religius ketika mendapatkan muatan nilai pesantren. Kiai Wahab sendiri yang merupakan politik ulung mitra Bung Karno, terutama dalam menghadapi persoalan kenegaraan, padahal hanyalah murni dididik di Pesantren. Justeru dengan keilmuan pesantren itulah bisa melengkapi politik Barat yang dianut oleh Bung Karno.

Ketika Konstituante mengalami jalan buntu, para kiai dari Pesantren justeru memberikan jalan keluar yang kreatif, sehingga Bung Karno dengan mudah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, Kembali ke UUD 1945, setelah berkonsultasi dengan NU, terutama dalam menempatkan Piagam Jakarta secara proporsional. Tidak ditetapkan secara formal, tetapi juga tidak diabaikan perannya, tetapi ditempatkan sebagai jiwa bagi UUD 1945. Walaupun politik sering dituduh anti moral, tetapi seburuk-buruk politik apapun maih membutuhkan moral, agar relasi antar pelaku bisa berjalan. NU menawarkan gagasan moral atau akhalakul karimah dalam politik, karena itu NU bisa ambil peran.

Deideologisai serta depolitisasi pesantren yang dilakukan rezim orde baru telah mengarah pada deNUnisai, kebijakan itu berakibat menjauhkan peran NU dan pesantren dalam  politik. Apalagi sejak zaman reformasi ketika gelombang globalisasi dan liberalisasi melanda seluruh dunia termasuk negari ini, maka nilai moral dalam kehidupan sosial, gotong royong semakin memudar, dalam bidang seni budaya etika telah ditinggalkan digantikan dengan estetika yang hanya mengumbar nafsu dan kemewahan dunia. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan bebas saling memangsa. Sementara dalam bidang politik etika atau fatsoen politik diangap sebagai doktrin lama yang harus ditinggalkan.


Makna Kembali ke Pesantren

Mengingat suasana kehidupan pasca Reformasi yang diwarnai dengan globalisasi dan liberalisasi yang melanda seluruh sektor kehidupan itu tidak ada cara lain bagi NU kecuali kembali ke pesantren, untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat sejalan dengan tradisi dan etika. Kembali kepesantren memiliki dua pengertian baik secara fisik maupun secara nilai dan tradisi, yang merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dari satu sistem pesantren yang sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad.

Pertama, kembali ke pesantren dalam arti fisik berarti mengembalikan keseluruhan kegiatan NU mulai dari rapat pleno, konferensi, rapat kerja, Munas hingga Muktamar, kembali dipusatkan di pesantren yang menjadikan pesantren. Dengan segala keterbatasannya terbukti pesantren mampu menyedaikan suasana yang jauh kondusif ketimbang tempat lain sehingga  keakraban dan keseriusan serta kesederhanaan bisa tercipta. Ketika langkah kembali ke pesantren dilakukan terbukti berhasil kembali mendekatkan NU dengan tradisi pesantren norma serta moralnya, dan sekaligus memperkuat kembali institusi pesantren  sebagai pusat perubahan  pengembangan masyarakat. Peran pesantren kembali dilihat dan diperhitungkan orang.

Kedua, kembali ke pesantren dalam arti tata nilai, dalam arti pesantren selalu menekankan pada nilai kejujuran, kesederhanaan, kebersamaan dan pengabdian yang mendalam dan tanpa batas. Dari nilai-nilai tersebut tumbuh etos, rasa saling percaya, budaya gotong royong, kecintaan pada ilmu dan profesi tanpa batas, sebagi bentuk pengabdian pada Allah, yang ditasarufkan sebesar-besarnya pada kemaslahatan umat manusia. Langkah ini sebenarnya biasa saja. Tetapi karena dijalankan di tengah maraknya individualisme bahkan egoisme persaingan bebas tanpa belas kasihan, maka langkah Kembali Ke Pesantren ini terasa radikal dan kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena ini berarti menentang arus yang sedang berjalan, yaitu individualisme, pragmatisme yang melanda dunai saat ini, yang seolah menjadi nilai kehidupan tertinggi.

Pendidikan pesantren diberikan oleh seorang ulama atau kiai yang representatif, yang dalam pengembangkan ilmunya telah mendapatkan ijazah (pengesahan) dari guru masing-masing. Dengan demikian otentisitas sanad (mata rantai) keilmuannya menjadi jelas, sehingga pemahamnnaya bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu segala ilmu dan amalan diajarkan secara bertahap dan thuluz zaman (dalam waktu yang lama). Ilmu dan amal yang dikerjakan menjadi sangat hakiki dan mendalam. Sang kiai atau sang panembahan merupakan guru pembimbing yang menjadi contoh teladan bagi santri dalam kehidupan.

Pendidikan pesantren diselenggarakan secara tertib, memakan waktu yang lama, agar memperoleh pemahaman hakekat segala sesuatu secara mendalam, sehinga memudahkan membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Dimensi kedalaman ini sangat ditekankan di pesantren mengingat firman Allah, 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ 

Artinya: “Wahai manusia sesungguhnya janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia menipumu, dan jangan kamu terkecoh oleh tipuan yang mengatas namakan Allah.” (QS: Al Fathir: 5)

Hal itu terbukti, sekarang ini banyak kesalehan yang ditampakkan secara lahiriah, bahkan sikap ketaatan dan kedisplinan beribdah begitu tinggi dan kesemarakan yang kompak. Tetapi pada saat yang bersamaan pelanggaran terhadap norma-norma agama terjadi pada orang yang bersangkutan. Bahklan tingkat kejahatannya melebihi orang tidak mengenal agama. Padahal semua perilaku mereka dan kelompoknya atas nama agama. Ini tidak lain karena pendidikan atau tarbiyah yang dijalankan serba instan. Hanya mengutamakan kedisiplinan fisik. Tidak diisi dengan kerohanian yang mendalam. Agama yang diajarkan secara instan dan dangkal serta sepintas, hanya menjadi kedok, mudah menjadi alat manipulasi.

Padahal perbuatan yang memamerkan amal tetapi tanpa isi seperti itu menurut Allah merupakan kedurhakaan, sebagai difirmankan,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Artinya: “Kami akan memberi tahu kamu tentang  orang yang amalnya paling merugi; yaitu orang yang sia-sia amalnya di dunia ini, padahala mereka menyangka dirinya telah beramal baik.” (QS: Al-Kahfi 103-104)

Dalam amaliah sehari-hari termasuk dalam ibadah, terdapat perbedaan yang tipis antara yang benar dan yang salah, karena itu para ulama pesantren menjaga agar para santri berhati-hati dengan jebakan tersebut. Bimbingan seorang guru, mursyid atau kiai pada umat menjadi sangat penting untuk menghindari pengerjaan amalan yang sia-sia seperti itu. Aktivitas berkedok agama tetapi untuk tujuan duniawi semata.

Di sinilah pentingnya kembali ke pesantren untuk kembali menegakkan moralitas dan nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarah Nusantara. Ajaran dan hikmah yang diamalkan para ulam terdahulu itu sangat penting justeru dalam situasi globalisasi yang serba tidak menentu saat ini.

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Budaya Nusantara

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pesantren merupakan budaya asli Nusantara, yang mengembangkan nilai kenusantaraan lestari hingga sekarang. Antara sultan dengan wali (ulama) merupakan satu kesatuan, hal itu secara kelembagaan berarti menyatunya antara kesultanan atau keraton dengan dunia pesantren yang terjalin mulai Samudera Pasai di Aceh, Di Jawa hingga Ternate Todeore di Maluku dan Papua.

Secara berangsur hubungan itu renggang bahkan terpisah, berdiri sendiri tanpa saling mengisi, bermula sejak zaman Belanda dan berlangsung hingga zaman orde baru. Padahal mulanya mereka sekeluarga. Dalam keterpisahan itu keduanya mengalami kemerosotan. Tetapi pihak kesultananlah yang paling merasakan akibatnya. Bisa dibuktikan, sekarang ini hanya tingga dua atau tiga kesultanan yang masih hidup dan berkuasa, yang lain tinggal nama, ataupun dihidupkan kembali tetapi tidak punya rakyat, tidak punya tentara. Bayangkan dengan dunia pesantren, ketika ditindas Belanda dan direpresi orde baru, tetapi masih terus hidup. Saat ini umumnya pesantren yang jumlahnya  ribuan itu ada yang memiliki santri dua ribu hingga lima ribu orang. Bahkan organisasi kepesantrenan masih memiliki kekuatan para-militer terlatih yang jumlahnya bisa ribuan orang. Hal yang sama tidak dimiliki oleh Kraton atau kesultanan manapun di Nusantara.

Belakangan ini keraton baru menyadari kelemahan tersebut, bersamaan dengan kunjungan Para Sultan Nusantara mereka mengatakan, selama ini mereka mengalami kelumpuhan ketika para Sultan berjalan tanpa Wali, sehingga posisi mereka semakin terpuruk tidak ada yang bisa menolong. Menurut mereka walinya Republik Indonesia saat ini adalah pesantren yang dipimpin oleh NU. Karena itu mereka mulai merasa pentingnya kerjasama dengan organisasi kepesantrenan seperti NU, sebagai upaya mengembalikan wibawa kesultanan sebagaimana dahulu kala.

Sejak ditaklukkan Belanda kesultanan sebenarnya telah ditundukkan secara moral dan intelekual. Akhirnya mereka sepenuhnya berkiblat ke barat ketika berpolitik. Apalagi sejak awal mereka mendapatkan hak istimewa untuk bisa sekolah Belanda, yang menjadikan mereka semakin menjadi westernis, yang semakin menjadikan mereka terpuruk. Nilai kenusantaraan terutama nilai keagamaan semakin mereka tinggalkan, apalagi pesantren yang dulu mendampingi, membimbing dan mengarahkan mereka telah diganti dengan penasehat dari Belanda dan Eropa lainnya maka Kesultanan semakin jauh dari rakyatnya. Karena itulah masa kemerdekaan mereka dihancurkan bersama hancurnya kolonialisme. Sementara kaum santri bergabung dengan kaum Republiken yang dengan aktif mendirikan Republik ini.

Munculnya resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeliarkan KH Hasyim Asyari merupakan keterlibatan pesantren dalam mendirikan Repuiblik ini. Kalangan ulama pesantren lebih sigap dalam membaca perubahan saat itu, sementara kesultanan masih terikat oleh berbagai perjanjian dengan Belanda sehingga mereka ketingalan langkah dalam mengambil kepemimpininan di negeri ini, saat menjelang berdirinya Republik ini.

Dengan ketemunya kembali dua elemen penting Nusantara yaitu antara kesultanan dan pesantren diharapkan Indonesaia bisa menemukan jatidirinya kembali. Karena keduanya sebenarnya pemangku utama budaya Nusantara yang berpegang teguh pada nilai tradisi dan norma agama, yang ini telah tertanam dan terjalin sejak berabad yang lalu yang telah dirintis oleh para wali sejak datangnya Islam di Nusantara. Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri, kembali pada nilai-nilai Nusantara menjadi sangat mendesak saat ini, sebab apa yang dirumuskan dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita seperti Pancasila adalah merupakan produk dari falsafah dan budaya Nusantara. Karena itu nilai kenusantaraan dan kepesantrenan perlu terus digali bersamaan dengan proses menemukan jati diri bangsa ini.

Bersamaan dengan derasnya gelombang globalisasi yang membawa arus leiberalisasi, telah melonggarkana seluruh ikatan keluarga, ikatan sosial bahkan ikatan agama. Padahal tanpa ikatan agama, tanpa ikatan keluarga dan tanpa ikatan sosial, maka norma dan moralitas sulit dijalankan. Karena pada dasarnya agama, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat merupakan persemaian berbagai norma dan etika. Kembali ke pesantren diartikan sebagai kembali pada norma kelluarga, norma sosial, karena dalam lingkungan itulah norma agama ditumbuhkan dan diinternalisasi menjadi perilaku dalam kehidupan.


Melahirkan Sosok Ideal

Setiap gagasan besar atau perkumpulan besar selalu membutuhkan tipe ideal atau sosok ideal bagimana kira-kira gagasan atau cita-cita perkumpulan tersebut dicitrakan dan diwujudkan di alam nyata dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejarah kita munculnya tokoh yang diidealkan itu sangat lazim. Sosok ideal gagasan tentang Indonesia antara lain adalah Soekarno, Hatta dan sebagainya. Sosok Ideal NU misalnya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, di Muhammadiyah terdapat sosok yang diidolakan seperti KH. Ahmad Dahlan. Dalam Sarekat Islam terdapat HOS Tjokroaminoto. Sosok semacam itu tidak hanya memiliki daya pikat, tetapi sekaligus memiliki daya ikat, sehingga mampu menjaga kohesivitas ide yang masih abstrak atau cita-cita perkumpulan atau organisasi yang masih utopis. Di dunia sana juga sama dalam Swadesi ada Gandhi, dalam Pan Islam ada Al Afghani. Para Nabi sendiri merupakan sosok ideal dari setiap agama yang mereka bawa.

Sosok semacam itu dianggap contoh paripurna dalam sebuah idea atau perkumpulan. Seringkali mereka ditempatkan sebagai makhluk supra manusiawi, sosok yang tidak pernah salah, paling banter hanya khilaf dan itupun sangat dimaklumi dan segera dimaafkan oleh pendukungnya. Dengan demikian  mereka menjadi panutan, pemberi inspirasi, memberikan rasa bangga dan rasa percaya diri, memberi harapan dan bahkan memberikan rasa aman bagi para pendukungnya. Kelebihan mereka adalah tidak hanya bisa memberikan mauidloh hasanah (nasihat yang baik) tetapi mampu memberikan uswatun hasanah (teladan yang baik). Keteladanan itulah kunci utama bagi sosok idel tersebut.

Dalam masyarakat dan bangsa ini muncul keprihatinan yang mendalam tentang tidak hadirnya sosok ideal yang diharapkan itu. Apalagi dalam masyarakat yang percaya akan datangnya Ratu Adil, Imam Mahdi atau Mesias itu sering merasa kecewa. Setiap muncul sosok yang dianggap akan menjadi sosok ideal apakah itu dari kalangan ilmuwan, politisi, seniman dan bahkan agamawan yang menjadi panutan dan dielu-elukan, tetapi tiba-tiba sang idola terjebak berbagai kasus pelanggaran moral. Pengalaman seperti ini yang selalu membuat masyarakat frustrasi. Munculnya para aktivis terutama kalangan muda di panggung politik, yang diharapkan mampu membawa perbaikan, ternyata tidak memberikan harapan, malah terjerumus dalam praktek politik yang mengabaikan norma dan etika.

Untuk mengatasi rasa frustrasi dan memberikan kepercayaan serta harapan bagi masyarakat saat tidak hadirnya sosok ideal yang berupa manusia yang ditokohkan, maka orang harus mulai realistis dan memahami gerak zaman terjadi. Dengan tidak adanya sosok ideal masyarakat tidak perlu kehilangan arah, kehilangan tuntunan dan juga lepas kendali, karena masih ada yang bisa dijadikan pegangan bukan orang per orang melainkan berpegang pada ide, wahyu dan termasuk organisasi atau jamaah, yang kemurniannya terus dijaga oleh pendukungya.

Dalam kondisi seperti ini dimana pribadi yang seperti Nabi atau Rasul tidak ada, maka uswah atau teladan kita bukan orang, tetapi cita ideal jamaah atau organiasai yang berpegang teguh pada cita-cita dan tata nilai. Karena jamaah merupakan cerminan dari ajaran Allah dan Rasulnya sebagaimana difirmankan.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Apabila terjadi perselisihan, maka kembalilah kepada Allah dan rasulnya”. (QS. An-Nisa’:59)

Kita kembali ke sana karena keduanya merupakan simbol kebenaran mutlak, untuk itulah para ulama yang merupakan amna’ul ummat (kepercayaan umat) menjadi panutan karena mampu memahamkan umat dan mendekatkan pada kebenaran. Sebagai langkah untuk mewujudkan Islam ideal sebagai rahmatan lil alamin, sebagaimana tercermin dalam Al-Quran dan Hadis yang masih ijmal (umum) itu bisa terapkan maka diperlukan upaya pemahaman kreatif secara kolektif (ijma’) atau secara individual (qiyas).

Upaya pemahaman manusia terhadap realitas selain menggunakan bayan ilahi (pemahaman Ilahi) yaitu al-Quran dan Sunnah juga dilakukan dengan menggunakan bayanul aqli (pemahaman akal) yaitu ijma’ dan qiyas, maka lahirkan ilmu fikih, sehingga masyarakat mampu menjalankan agama dengan terinci dan operasional. Tentang cara menjalankan sembahyang, kapan waktunya dan bagaimana syarat rukunnya. Tata cara zakat, puasa haji dan lain sebagainya. Agar gugusan moral yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah itu dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari, dengan dirumuskannya etika dan sopan santun adab dan tatakrama. Dengan adanya ilmu fikih dan ushul fikih itu pemahaman agama menjadi dinamis. Sejalan dengan prinsip taghaiyirul ahkam bi taghyiril azman (hukum fikih selau berubah sejalan dengan perbahan zaman). Setiap zaman memerlukan rumusan hukum tersendiri.

Kontekstualisai ajaran Islam agar membawa berkah bagi seluruh umat, maka kalangan ulama NU terus melakukan reaktualisasi pemikiran Islam. Langkah ini ditempuh dengan kerendahan, dalam menjalankan qiyas, misalnya disebut dengan ilhaq (penyamaan) atau istiqrai (survai). Sementara untuk menghindarkan istilah ijtihad yang terlalu besar digunakan istilah ijma (yang berarti ijtihad secara kolektif). Dengan menggunakan Ilmu ushul fikih (metode pengambilan hukum) itulah Al-Quran dan Sunnah bisa dipahami. Karena itu kebenaran fikih itu bersifat relatif, berbeda dengan Al-Quran dan Sunnah kebenarannya adalah mutlak, karena itu fikih bisa dikritik dan direvisi demi kemaslahatan umat. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, prinsip fikih tersebut tidak bisa diterapkan secara eksklusif, karena itu perlu ditransformasikan menjadi etika sosial agar menjadi inklusif, menjadi kesepakatan bersama, sehingga bisa diterima oleh semua pihak.

Agar kemaslahatan umat terus terjaga maka perlu dilakukan berbagai langkah konkret, sebagai masyarakat beragama yang telah memiliki berbagai instrumen agama untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah, maka instrumen keagamaan itu yang digunakan terutama yang sudah dirumuskan dalam kaidah fiqhiyah. Berbeda dengan logika Aristotelian yang bersifat abstrak dan spekulatif, logika yang dibagun ilmu fikih dalam kaidah fiqhiyah merupakan instrumen praktis sebagai sarana penyelesaian masalah. Misalnya prinsip dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mencari kebaikan). Ini untuk mencegah terjadinya perubahan yang asal berubah, karena tidak akan membawa maslahah. Perubahan perlu direncanakan secara rapi dan terinci serta hati-hati.

Begitu pula dalam menghadapi budaya dari luar terdapat prinsip al-muhafadzatu ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Mengingat tujuan pengambilan dan pengembangan budaya adalah untuk perbaikan maka pengambilan tradisi lain dibolehkan asal lebih baik, sehingga diharapkan akan menjadi modal bagi pengembangan budaya yang ada. Begitu pula dalam mencapai kemaslahatan tidak boleh dengan menggunakan kemaksiatan. Sebagaimana hukum logika, penyimpangan yang dijalankan terus menerus akan melahirkan penyimpangan dalam bentuk lain yang lebih jauh, yang tidak mungkin melahirkan kebajikan.

Dalam khidmahnya selama 90 ini NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dipimpin oleh para ulama berusaha keras untuk mewujudkan terwujudnya masyarakat ideal. Satu dasawarsa mendatang kiprah NU telah genap 100 tahun. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini menurut NU adalah bentuk ideal dari sebuah negara. Hanya saja negeri ini masih dilanda berbagai krisis, baik krisis budaya termasuk krisis moral. Prinsip akhlakul karimah dalam semua aspek kehidupan perlu ditegakkan kembali agar bentuk dan dasar negara yang ideal ini menjadi semakin ideal. Diharapkan dalam usianya yang seabad itu NU memapu mewujudkan cita-cita sosial dan cita-cita kebangsaan ini secara penuh. Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi toleransi dengan sendirinya peran NU ini juga memberikan manfaat sebesar-besarnya pada semua elemen bangsa yang majemuk ini, baik majemuk dari segi agama, etnis, bahasa dan budaya.

Dalam kondisi kelangkaan kepemimpinan ideal seperti yang diprihatinkan selama ini maka  menciptakan lingkungan yang ideal menjadi sangat penting. Usaha ini  ibarat mengolah lahan agar muncul pemimpin ideal sebagaiman yang dicita-citakan. Seorang pemimpin adalah produk masyarakat dan produk zamannya. Lingkungan masyarakat yang berbudaya rendah akan melahirkan pemimpin yang berkepribadian rendah. Sebaliknya lingkungan masyarakat yang berkebudayan tinggi akan melahirkan pemimpin yang berbudaya dan berintegritas tinggi. Memang seorang pemimpin tidak jatuh dari langit, melainkan diproses ditempa di tengah masyarakat. Pemimpin yang baik akan muncul di antara sekian banyak tokoh yang paling unggul di antara tokoh yang ada. Dengan langkah seperti itulah NU berusaha mengembalikan lagi spirit pesantren dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pergaulan sosial, ekonomi serta kenegaraan.



Jakarta 16 Rajab 1434/27 Mei 2013

DR. KH Said Aqil Siroj, MA. Ketua Umum PBNU

Jumat, 22 November 2013

Kedungwuni - Pimpinan Cabang IPNU dan Pimpinan Cabang IPPNU Kabupaten Pekalongan segera menggelar Konferensi XVII IPNU IPPNU 30 Januari - 1 Februari 2014. Hal tersebut disampaikan ketua PC IPNU, Ahmad Masroni belum lama ini.

"Sampai saat ini kami sudah membentuk panitia dan sedang mengadakan survey tempat untuk pelaksanaan kegiatan akbar ini", terang Masroni.

Dikatakan, ada 3 alternatif tempat untuk kegiatan KONFERENSI XVII, pertama, di SMA YMI Wonopringgo, Kedua, di MA Wiradesa dan pilihan ketiga di Islamic Centre Kedungwuni.

"Kita tunggu saja perkembangan lebih lanjutnya dari panitia dan Pimpinan Cabang", tegas Ahmad Masroni.